Tahun yang Berat


2020 - Tak terasa sudah hampir masuk bulan Agustus 2020, tapi blog Kerikilberlumut sama sekali belum ada tulisan baru. Tahun 2019 pun sama, blog ini tidak terlalu produktif. Tulisan terahir adalah sebuah surat cinta untuk istriku di Hari Ibu. Lalu hiatus dan hampir jadi blog berlumut beneran. Sebenarnya apa yang terjadi?

Entahlah, tahun ini terasa sangat berat untuk menulis. Kalau dipikir-pikir lagi sepertinya sudah tidak ada motivasi untuk menulis. Sebenarnya motivasi untuk menulis di blog sudah mulai terkikis sejak pertengahan 2019. Aku merasa dunia blog sudah tidak seasik dulu, tidak seramai dulu. Meski banyak pendatang baru, komunitas-komunitas blog yang ku ikuti pun sudah mulai sepi.

Pengguna internet pun sepertinya sudah merubah kebiasaan. Contohnya aku sendiri. Dulu, kalau ingin memperbaiki sesuatu dan gak tau caranya, pasti buka google lalu mencari artikel yang relevan. Tapi, sekarang lebih nyaman buka youtube lalu cari apapun yang ada disana. Terasa lebih nyaman menonton video ketimbang membaca sebuah artikel. Dunia youtube terasa lebih asik. Mulai dari contentnya, drama antar youtubernya sampai keakraban antar youtubernya membuat sebuah video kolaborasi juga asik ditonton.

Berubah dari blogger menjadi youtuber, merubah blog berlumut jadi chanel berlumut, pernah singgah dalam pikiran. Awal tahun 2020 aku sempat mencoba merealisasikan rencana ini. Dimulai dengan iPhone-ku yang rusak, aku mencari handphone murah dengan kamera yang lumayan ciamik. Akhirnya aku memilih Samsung A51 dengan quad cameranya. Kemudian aku membeli gimbal dan mic untuk kamera, pilihan gimbal termurah jatuh pada Brica B-Steady Pro. Tapi ternyata mencari ide, pengembilan gambar dan editing sebuah video sangatlah susah. Akhirnya aku stuck.

Tahun ini terasa berat bukan hanya di dunia maya ku, tapi juga dunia travelingku. Mungkin ini juga dirasakan oleh hampir semua orang di dunia. Apalagi kalau bukan alasan pandemi?

Kota Batu, Malang, Jawa Timur
Di akhir Januari 2020, sebelum pandemi mengguncang Indonesia, aku dan keluargaku berhasil berlibur ke Batu, Malang, Jawa Timur. Tak banyak tempat rekresasi yang kami kunjungi selama 2 hari di sana. Tapi ini menjadi kesempatan pertama kami untuk melancong dengan formasi lengkap, aku bersama istri dan anakku, adikku bersama suaminya serta mama dan papa (setelah sebelumnya kami melancong ke Ujung Timur Pulau Jawa, Baluran, hanya aku, istri, anakku, mama dan papa). Ini menjadi semangat awal tahun yang luar biasa bagi kami.

Aku dan istri kemudian membuat rencana untuk melancong hanya bertiga saja. Aku, istriku dan anakku. Tujuan kami Yogyakarta. Kebetulan teman istriku yang kebetulan juga istri dari temanku, ingin sekali ke Yogyakarta. Kami pun merencanakan untuk ke Yogyakarta bersama.

Tapi, seorang teman kantor berhasil meracuniku. "Alzi sekarang umur berapa?", tanya Mas Adi.

"20 bulan, Mas", jawabku.

"Wah, sebentar lagi 24 bulan dong ya? Gak pengen ngajak Alzi naik pesawat? Mumpung belum 24 bulan, jadi masih gratis. Nanti kalo udah 24 bulan keatas jadi bayar penuh, lho", kata Mas Adi.

Aku pun termotivasi untuk mengajak Alzi naik pesawat, mumpung masih gratis pikirku. Aku pun mulai mengira-ngira kemana tujuan yang paling murah tapi destinasi wisatanya asik. Pilihan paling tepat dan paling murah adalah Lombok. Aku cek di aplikasi pembelian tiket online, harga tiket Surabaya - Lombok hanya Rp 500.000 sampai Rp 600.000 saja dan penginapan di Lombok ada yang Rp 100.000 permalam. Untuk transportasi selama di Lombok aku berencana untuk sewa. Masih bisa dijangkau dompetku.

Aku coba merayu istri, dia setuju. Dan coba mengajak temanku untuk merubah destinasi dari Yogyakarta ke Lombok, temanku masih kekeh ingin ke Yogyakarta, karena sudah sejak lama istrinya ingin sekali ke Yogyakarta.

Tapi ternyata gelombang pandemi menyerang Indonesia. Arahan pemerintah untuk melakukan social distancing mulai digalakkan. Turunan arahan tersebut tentu saja tidak keluar kota dan tidak ke tempat wisata sampai waktu yang tidak ditentukan. Tentu ini sangat berat bagiku dan mungkin bagi semua orang di muka Bumi.

Awal pengumuman pandemi ini ada di Indonesia sangat membuatku panik. Meski tidak ada orang disekitarku yang terkena dampak langsung pandemi ini, tapi aku sangat panik saat itu. Aku membeli semua kebutuhan keluarga termasuk menambah asupan vitamin. Ternyata panic buying ini sukses menguras dompet dan beberapa tabunganku. Ditambah lagi, aku dan istri semakin mudah terserang flu dan batuk selama pandemi, anakku juga sempat demam 39°C. Kami sempat panik, beruntung setelah diberi obat penurun panas, suhu anak kami kembali normal dan sehat sampai sekarang.

Beberapa bulan berlalu, status pandemi belum juga dicabut. Aku tidak melihat secara langsung tanda-tanda pandemi pada orang-orang di sekitarku. Aku mulai tidak percaya lagi tentang pandemi. Aku mulai ingin memberontak untuk tidak melakukan arahan pemerintah. Tapi, hati kecilku masih menahan demi kesehatan anak dan istri.

Terasa berat sekali menahan rindu untuk melancong ke tempat wisata. Tidak hanya Yogyakarta dan Lombok, rencanaku untuk ke pantai-pantai di sekitar Jember pun tidak berani ku lakukan. Bahkan rencana untuk mendaki ke Kawah Ijen bersama anak dan istri juga tidak berani ku lakukan.

Semoga saja pandemi ini segera berlalu. Dan setelah pandemi semoga saja ada rezeki untuk membawa Alzi ke Lombok dan masih diberi kekuatan untuk menggendong Alzi naik ke Kawah Ijen. Semoga.

2 komentar untuk "Tahun yang Berat"

  1. Halooo maaass, gimana kabarnyaa?
    Huhu ya ampun, sama banget deh mas. Kalo aku mulai demotivasi sejak 2016, mulai jaraaang banget nulis haha. Kemarin dipaksain buat nulis pun, akhirnya cuman mampu bikin 3 tulisan. Abis itu semenjak WFO lagi, malah ngga ada waktu buat nulis.
    Mau bikin konten di Youtube pun masih belum kepikiran mau bikin apa yg keliatan menarik, masih tertarik buat nulis sih walau sekarang pun masih bingung mau nulis apaan haha.

    Sehat" selalu untuk samean dan keluarga :)

    BalasHapus
  2. Saya juga begitu, semangan menulis jadi naik turun. Susah payah mempertahankan semangat menulis dengan berbagai cara. Mulai dari mengelola mood tiap hari sampe menggaligali pengalaman yang sekiranya bisa ditulis karena menurut saya sendiri menulis berdasarkan pengalaman sendiri itu bisa lebih menyenangkan dan lebih kecil resiko untuk bosan. Setelah berjuang akhirnya perlahan semangat menulis mulai balik lagi.

    BalasHapus