Apa Nikmatnya Menjadi Pelacur Politik!?

sumber foto: acehimage.com
Apa Nikmatnya Menjadi Pelacur Politik!? - Sebuah kalimat sarat dengan kontroversi sering berseliweran di media sosial kita. Salah satunya adalah tentang cewek murahan dan pelacur. Kurang lebih kalimat tersebut seperti ini, "Pelacur lebih baik dari pada cewek murahan. Pelacur mau digagahi oleh seorang pria karena uang, sedangkan cewek murahan mau saja digagahi pacarnya tanpa imbalan apapun. Karena cewek murahan takut kehilangan pacarnya tapi tak pernah takut kehilangan keperawanannya,". Apakah kalimat tersebut benar-benar berlaku?

Kalimat tersebut memang terasa bagus dan benar dalam dunia nyata. Tapi hal itu tak berlaku dalam dunia Politik. Karena Pelacur politik lebih menjijikkan dari pada orang-orang yang berpolitik dengan sukarela. Pelacur-pelacur politik tak pernah memuaskan pelanggannya, hanya membuat pusing pelanggannya dengan jerat goda pikiran kotor mereka. Lebih menjijikkan lagi saat mereka dengan manuvernya malah menyusahkan masyarakat luas.

Pelacur menjajakkan kemolekan tubuhnya dan kecantikkan wajahnya kepada pria-pria hidung belang. Mengumbar setiap jenkal auratnya agar bisa terjual laku. Tapi itu semua mereka lakukan demi uang, -meskipun beberapa melakukannya demi kepuasan dan hobi toh pada akhirnya mereka mendapatkan uang juga. Tak peduli apakah yang dilakukannya adalah zina dan haram, asal dapat uang, apapun jadi. Bahkan beredar gosip bahwa kini ada yang namanya melacur demi kepopuleran. Menajajakan tubunya, lubang surgawinya, demi kepopuleran, demi menyandang title artis.

Apakah pelacur politik adalah mereka yang digunakan para politisi sebagai bentuk suap yang lain itu? Atau istri-istri simpanan para politisi? Ataukah orang-orang yang melacurkan tubuhnya demi kekuasaan? Tentu saja bukan. Artikel ini bukan membahas tentang oknum-oknum penjaja tubuh itu.

Merujuk pada pengertian pelacur diatas, mencari teman untuk saling memuaskan kemudian mendapatkan uang. Begitulah pelacur politik. Mereka mencari teman demi memuaskan hasratnya dan menebalkan kantong-kantong pribadi mereka meskipun dengan cara yang haram sekalipun.

Ambilah contoh pemilu 2004, 2009, sapai kini pemilu 2014. Tak jelas mana teman mana lawan. Hari ini lawan, bisa saja besok jadi kawan. Hari ini unggul, maka hari itu pula menjadi magnet. Namun bila tak unggul maka akan ditinggalkan. Maka wajarlah jika Cak Nun dalam Kenduri Kebudayaan bertajuk Refleksi Kepemimpinan Masa Depan di Polinema, 13 November 2013 lalu, menyindir perpolitikan kita demikian, "Jika partai A hancur apa yang dirasakan oleh partai B? Senang atau sedih?". Penonton menjawab, "Senang". Cak Nun melanjutkan bertanya, "Bagaimana jika sebaliknya? atau mungkin yang hancur partai C atau D?". Penonton menjawab, "Senang". Cak Nun kemudian berkata, "Loh ada teman seperjuangannya hancur kok malah senang? Bagaimana bisa kita mengharap seorang pemimpin dari kelompok yang seperti ini?".

Akhir-akhir ini muncul isu bahwa partai politik yang berkuasa akan merosot popularitasnya. Ini terlihat sejak pemilu 1999. Mari kita intip sejarah sedikit saja. Partai yang berkuasa tahun 1999 adalah Partai Golkar, pemilu tahun 1999 dimenangkan oleh PDI-P dan Popularitas Partai Golkar menurun. Berlanjut pada tahun 2004. Partai yang berkuasa saat itu adalah PDIP, namun pemenang pemilu adalah Partai Demokrat dan popularitas PDIP menurun. Sedangkan pada pemilu 2009, karena partai Demokrat masih dalam masa kepercayaan dirinya yang tinggi, maka mereka dapat terpilih lagi. Lalu bagaimana dengan pemilu tahun 2014? Seperti yang kita ketahui bersama Partai Demokratlah yang sedang berkuasa, namun popularitasnya kini hancur dan partai pemenang adalah PDIP yang sejak tahun 2004 konsisten menjadi partai oposisi tanpa jabatan.

Kali ini Partai Demokrat bak ditinggal oleh teman-temannya. Partai Demokrat sudah tak memiliki teman lagi. Ini bukan perkara teman-teman Demokrat telah menjadi pelacur politik. Tapi memang Demokrat sudah tak bisa mempertahankan pertemanan itu. Demokrat dianggap gagal melakukan manuver politiknya. Harusnya jika Demokrat mau mencari teman sejak awal, diyakini mereka tak akan ditinggalkan oleh kawan-kawan kolisinya yang lalu.

Manuver mencari kawan parpol seperti ini dimungkinkan karena adanya UU No.42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pasal 9 menyebutkan: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

UU No. 42/2008 ini ada karena alasan agar kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang sedang berkuasa tidak mudah dijegal oleh para anggota dewan di parlemen sana (a.k.a. DPR). Alasan yang bodoh bukan? Jika kebijakan yang dikeluarkan itu memang memihak rakyat, kenapa harus ada yang menjegal? Kecuali yang menjegal itu adalah oknum-oknum pelacur politik. Tak peduli apapun kebijakkan yang dikeluarkan, entah itu baik atau tidak, asalkan mereka berada didalam kepemerintahan dan menguntungkan (saat mereka mendukung) untuk mereka maka mereka akan selalu mendukung. Di sisi yang lain, tak peduli apapun kebijakan yang dikeluarkan, entah itu baik atau tidak, asalkan mereka berada diluar kepemeintahan dan menguntungkan (saat mereka tidak mendukung) untuk mereka maka mereka akan menjegalnya. Ya seperti itulah kelakuan pelacur politik.

Atas UU No. 42/2008 inilah yang membuat dua orang saya dukung tak bisa maju ke putaran Pilpres 2014. Memang 2 orang yang saya dukung untuk memimpin negeri ini tak bisa maju dalam ajang pemilihan pemimpin negeri ini. Yang satu tak menang dalam konvensi, yang satu lagi menang konvensi tapi tak mungkin bisa maju. Tak apa aku rela, karena orang-orang ini masih bisa memimpin sesuai dengan bidang kemampuan mereka dan dengan cara mereka masing-masing. Saya masih percaya memimpin itu tidak harus menjadi pemimpin tertinggi. Tapi bukan berarti dengan ini saya akan menyatakan tidak akan memilih pilihan yang ada sekarang. Tidak! Saya tetap akan memilih salah satu yang terbaik dari pilihan yang telah ada.

Jangan samakan saya dengan para pelacur politik itu. Ini bukan demi saya ataupun mereka. Ini demi Indonesia. Saya akan mengesampingkan tentang kepemimpinan Jakarta yang belum usai tapi sudah melirik posisi yang lebih tinggi toh jika terpilih dia akan tetap berada di Jakarta, mungkin jika dia terpilih nanti Jakarta akan lebih baik, saya akan mengesampingkan tentang masalah 'siapa boneka dan siapa dalang', bahkan mungkin juga saya akan mengesampingkan tentang masalah pelanggaran HAM, karena mungkin jika dia terpilih partai oposan akan mengungkit-ungkit lagi masalah ini dan malah bisa terlihat jelas siapa yang salah dan siapa yang benar.

Memilih pilihan yang ada bukan berarti saya menggadaikan idealisme saya. Tapi memang beberapa idealisme mereka, pilihan yang sudah ada, (katanya) sama dengan apa yang saya pikirkan. Yang jadi masalah hanya 3 masalah itu saja, sisanya tak ada masalah kok. Dengan memilih kelak, jika terjadi apa-apa saya masih bisa protes. Jika saya tak memilih maka saya tak memiliki hak apapun untuk protes.


Perang, perang dan perang. makin panas menjelang juli jangan percaya akun media sosial bayaran, mereka murahan, dibayar demi membuang ideologinya. itu namanya pelacur :x - Aditya Candra Lesmana, 16 Mei 2014 08:50 AM

Posting Komentar untuk "Apa Nikmatnya Menjadi Pelacur Politik!?"